Prinsip terapi pasien
ARDS pada sarnya tergantung dari etiologinya yang berbeda-beda. Oksigenasi merupakan terapi utama yang mesti dijaga serta koreksi kerusakan paru yang bersifat akut.
Adult Respiratory Distress Syndrome (ADRS) merupakan kerusakan paru total akibat berbagai etiologi.Keadaan ini dapat dipicu oleh berbagai hal, misalnya sepsis, pneumonia viral atau bakterial, aspirasi isi lambung, trauma dada, syok yang berkepanjangan, terbakar, emboli lemak, tenggelam, transfusi darah masif , bypass kardiopulmonal, keracunan O2, perdarahan pankreatitis akut, inhalasi gas beracun, serta konsumsi obat-obatan tertentu. "ADRS merupakan keadaan darurat medis yang dipicu oleh berbagai proses akut yang berhubungan langsung ataupun tidak langsung dengan kerusakan paru," ungkap Aryanto Suwondo, dr. Sp.PD(K), dari subbagian Pulmonologi Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Jakarta..
Patofisiologi
Dari jurnal-jurnal terkemuka, penelitian pada hewan menunjukkan kerusakan paru berasal dari aktivasi sel darah putih dan akumulasi platelet di dalam kapiler, interstisial, serta rongga udara. Leukosit dan platelet ini kemungkinan melepaskan prostaglandin, radikal toksik O2, enzim proteolitik, serta mediator-mediator lainnya (misalnya tumor necrosis factor dan interleukin) yang kemungkinan menyebabkan kerusakan sel, memicu inflamasi dan fibrosis, serta tonus bronkomotor dan vasoreaktivitas.
Ketika kapiler paru dan epitel alveoli mengalami kerusakan, plasma dan darah akan bocor menuju ke interstisial dan ruang-ruang intraalveolar. Hasilnya, terjadi penumpukan cairan dan atelektasis pada alveolus. Atelektasis merupakan mekanisme yang mengikuti upaya paru untuk mengurangi aktivitas surfaktan. Kerusakan ini tidak bersifat homogen dan hanya mempengaruhi daerah paru yang terkena. Dalam dua sampai tiga hari, terjadi inflamasi interstisial dan bronkoalveolar serta proliferasi sel-sel interstisial. Kemudian akan terjadi akumulasi kolagen secara cepat sehingga berakibat fibrosis interstisial dua hingga tiga minggu kemudian. Perubahan patologis ini mengakibatkan penurunan komplians paru, menurunkan kapasitas residual fungsional, ketidakseimbangan ventilasi/perfusi, peningkatan ruang rugi fisiologis, hipoksemia hebat, serta hipertensi pulmonal. Kondisi inilah yang disebut dengan istilah ARDS.
Gejala dan Tanda
ARDS biasaya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada paru. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing.
|
Foto Rontgen Penyakit ARDS |
|
|
|
Diagnosis dini dapat ditegakkan jika pasien mengeluhkan dispnea, sebagai gejala pendahulu ARDS. Diagnosis presumtif dapat ditegakkan dengan pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil sambil mencari sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya dari DVT. Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.
Komplikasi dan Prognosis
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella, Pseudomonas, dan Proteus spp.) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang resisten merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas akibat ARDS. Tension pneumothorax juga bisa terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan positive pressure ventilation (PPV) serta positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang dirawat dengan bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan volume intravaskular serta penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan transpor O2 dan kegagalan organ. Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian, merupakan gejala umum yang dirasakan pasien ARDS.
Survival rate pasien dengan ARDS parah yang mendapatkan perawatan ialah 60%. Sedangkan jika ARDS dengan hipoksemia hebat tidak dikenali dan ditangani dengan cepat, hampir 90% pasien akan mengalami cardiac arrest. Pasien yang mendapatkan pengobatan efektif biasanya tidak mengalami disfungsi kapasitas residual paru, meskipun pasien yang memerlukan ventilator dalam waktu lama dengan FiO2>50% cenderung akan mengalami fibrosis paru. Sedangkan pasien-pasien ARDS lainnya lama-kelamaan juga akan mengalami fibrosis paru.
Pengobatan
Prinsip terapi pasien ARDS pada dasarnya tergantung dari etiologinya yang berbeda-beda. Oksigenasi merupakan terapi utama yang mesti dijaga serta koreksi kerusakan paru yang bersifat akut. Penurunan volume intravaskular dapat memperburuk penyakit berupa deplesi nutrisi, toksisitas O2, superinfeksi, barotrauma, serta gagal ginjal. Ketika masih harus menegakkan diagnosis, hipoksemia mesti segera ditangani dengan pemberian oksigen FiO2 dan dimonitor dengan gas darah arteri atau oksimetri noninvasif. Intubasi endotrakeal dengan ventilasi mekanik dan PEEP diperlukan untuk inhalasi O2 dengan face mask.
ARDS seringkali menyebabkan deplesi volum intravaskular akibat terapi diuresis, inisiasi PPV yang mengurangi aliran balik vena, atau mungkin akibat sepsis. Pada keadaan ini, yang paling penting ialah monitoring volume vaskular, jangan sampai dehidrasi atau hipervolemia. Pada keadaan ARDS, meskipun terdapat edema alveolar, infus tetap diberikan jika diperlukan untuk mengembalikan perfusi perifer, keluaran urin, serta menstabilkan tekanan darah. Karena pengobatan yang terpenting ialah menjaga volum intravaskular, pemantauan pasien difokuskan pada perfusi kulit, status mental, keluaran urin, hipoksemia, serta tekanan vena sentral secara intensif. Dalam mengukur volum infus, digunakan kateter Swan-Ganz terutama jika terdapat ventilasi buatan dengan PEEP. Dalam penanganan emergensi yang intensif ini sebaiknya pasien dijaga dalam keadaan 'kering', yakni dalam kondisi diuresis dan restriksi cairan.
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai selagi kultur dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau aspirasi trakea. Kultur ini membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini serta memantau terapi antibiotik. Untuk memperkuat imunitas pencernaan, sebaiknya dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus dibiasakan makan dengan saluran pencernaan normal alias jalur enteral.
Tidak ada bukti kortikosteroid bisa memberi keuntungan dalam menangani ARDS akut. Malah kortikosteroid membuka peluang terjadi infeksi paru. Sedangkan sampai sekarang belum ditemukan terapi yang benar-benar efektif dalam melawan ARDS, semisal antibodi monoklonal terhadap endotoksin, antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor, antagonis reseptor interleukin-1, profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta mengurangi CO2 ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volum dan kardiotonik untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen parenteral untuk menghambat siklooksigenase, prostaglandin E1, serta pentoxifylline.
Demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa posisi pasien yang dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang berarti. Kemungkinan posisi ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti pada keadaan normal. Meski menelungkupkan pasien juga tidak mudah dikerjakan, namun posisi seperti ini telah lama diaplikasikan dan membawa hasil yang tidak buruk bagi pasien.
Inhalasi NO menurunkan kemungkinan terjadi hipertensi pulmonal serta memperbaiki oksigenasi arterial tanpa menyebabkan hipotensi sistemik. Namun sampai sekarang masih dipertanyakan keamanan penggunaan senyawa NO untuk pasien ARDS akut, mengingat NO bersifat toksik termasuk pada paru.
Ketokonazol terbukti bermanfaat untuk pasien ARDS karena bisa mensupresi makrofag dalam pelepasan tumor necrosis factor. Pemberian surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan, sementara surfaktan alami terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun tergolong jarang digunakan.
Ventilasi Mekanik
Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan dengan ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti dikerjakan jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO2 lebih besar dari 60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg selama lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif intubasi, continous positive airway pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau berat secara efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti digantikan dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS.
Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran volum tidal 10 hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H2O, FiO2 ≤60%, dengan mode pengontrolan yang dipicu oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode). Ventilasi dilakukan secara intermiten dengan irama awal sebesar 10 hingga 12 napas permenit tentunya dengan PEEP.
|
Foto Paru-paru Yang Terkena ARDS |
Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan tekanan dan volum yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS, namun sampai sekarang pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik. Justru PEEP yang terlalu rendah yang dapat merusak paru karena menyebabkan bagian distal paru yang tidak stabil dipaksa untuk terbuka dan tertutup berulang-ulang.
Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volum tidal yang rendah (hanya 6 sampai 8 mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18 cm H2O). Tujuan penyetelan volum tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan berlebih yang dipaksa oleh ventilator akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi batas kurva tekanan napas pasien tersebut, keadaan ini bisa juga menyebabkan overdistensi paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan bertambah kaku, serta terjadi peningkatan tekanan plateau ventilator karena tekanan yang diperlukan untuk menjaga paru dan inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan teknis, titik infleksi atas paru sering tidak dihitung secara langsung.
Taktiknya, dengan menyetel tekanan plateau ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H2O, insya Allah pasien tidak akan tersiksa akibat ventilator ini. Apalagi dengan penurunan volum tidal paru, frekuensi napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk mengatur pH dan PCO2 yang cukup. Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-lahan. Beberapa pasien mungkin akan menunjukkan hiperkapina dan asidosis respiratorik, namun biasanya keadaan ini dapat terkompensasi dengan baik. Daripada ambil risiko menyetel pernapasan pasien terlalu tinggi dengan paksa, lebih baik menurunkan setelan namun tetap dijaga dengan pemantauan yang intensif.
Secara teoretis, PEEP yang dipilih mesti beberapa cm H2O di atas titik infleksi bawah kurva tekanan napas pasien. Tindakan ini bertujuan agar makin banyak alveolus yang bisa berfungsi lagi serta mencegah inflasi yang berlebihan. Jika titik bawah infleksi masih tidak bisa ditentukan secara langsung, dibutuhkan PEEP dengan nilai 10 hingga 15 cm H2O. Jika telah ditentukan nilai PEEP yang tepat, FiO2 ventilator biasanya akan turun hingga ke batas yang normal <50 atau 60%. Artinya, akan tercapai PaO2 yang memuaskan, yakni ≥60% atau saturasi O2 ≥90%. Untuk perfusi O2 yang adekuat ke jaringan, indeks kardiak mesti ≥3 L/min/m2, bahkan kadang-kadang infusi volum atau obat-obatan kardiotonik parenteral dibutuhkan.
Sebagai alternatif, daripada pusing-pusing mengatur tekanan ventilasi mekanis, patok saja tekanan tetap terutama untuk pasien ARDS berat. Caranya, dengan memilih durasi dan tekanan inspirasi, namun volum tidal diset fleksibel sesuai hambatan inspirasi, hindari ventilasi mekanis dengan tekanan tinggi, meskipun pasien kadang akan hiperkapnia. Intinya, sekali lagi paru yang sudah rusak parah tidak boleh dipaksa untuk bekerja lebih keras lagi. pendekatan ini sering dikombinasikan dengan rasio ventilasi yang terbalik, yakni durasi inspirasi diset sesuai atau lebih besar dari ekshalasi. Teknik pemanjangan durasi ini lebih baik dikerjakan pada paru yang tidak terlalu rusak daripada hanya mengandalkan PEEP (sebagian dengan memproduksi PEEP intrinsik atau auto PEEP), dengan demikian FiO2 mau tak mau akan otomatis menurun nantinya. Teknik ini sebenarnya tidak nyaman dan membutuhkan sedasi pasien, kalau perlu dengan pelumpuh otot.
Nah, sebagaimana pasien membutuhkan pemasangan ventilator dengan cepat, ada saatnya pula ventilator mekanis ini mesti dilepas. Ventilator dapat dilepas jika fungsi paru sudah membaik (misalnya kebutuhan O2 dan PEEP sudah berkurang), hasil röntgen sudah menunjukkan perbaikan, serta sudah tidak ada takipnea. Biasanya, pasien yang memang tidak memiliki riwayat penyakit paru yang parah sebelumnya, akan lebih mudah dilepas. Kesulitan pelepasan alat bantu napas biasanya akibat adanya infeksi yang baru atau infeksi lama yang tidak diterapi dengan baik, overhidrasi, bronkospasme, anemia, gangguan elektrolit, disfungsi kardiak, atau status gizi yang sangat jelek yang menyebabkan kelemahan otot. Jika penyulit-penyulit tersebut berhasil diperbaiki, ventilator dapat dilepas perlahan-lahan dengan penyetelan ventilator intermiten, frekuensi napas yang diturunkan, sering pula dengan ventilasi yang didukung oleh pengaturan tekanan napas, atau dilepas begitu saja dengan meletakkan pipa T pada pipa endotrakeal. Pada proses ini disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H2O) agar nantinya pasien bisa bernapas kembali dengan normal. Untuk penanganan lebih detail serta rawat jalan yang baik, setelah fase emergensi selesai, terapi difokuskan pada etiologi yang menyebabkan pasien menjadi ARDS. Dengan demikian dapat mencegah kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di kemudian hari.